Saat ini, citra telah menjadi bagian yang begitu inheren dalam tubuh masyarakat mutakhir. Eksistensinya sudah begitu menelusup dalam keseharian. Ia digunakan sebagai media interaksi sosial, transmisi informasi, sarana pendidikan, bahkan digunakan untuk mengisi waktu senggang. Kelaziman dan pentingnya posisi citra dalam kebudayaan saat ini tentu berhutang pada perkembangan tekonologi, yang tidak hanya berhasil menjadikan proses produksi citraan menjadi hal yang begitu aksesibel, namun juga memberikan platform mediasi yang turut menjadikannya sebagai sesuatu yang familiar. Aksesibilitas ini pun menjadikan citra sebagai sebuah medium ekspresi yang demokratis bagi masyarakat, tidak lagi terbatas sebagai privilese seniman dan kreator. Apalagi dalam situasi saat ini dimana interaksi sosial serba dibatasi, keutamaan citra tersebut seperti kian mengalami penekanan. Barangkali tak sepenuhnya terbayangkan sebelumnya, aspek sesignifikan produktivitas industri dapat tetap dijaga melauli ‘citra’ sebagai mediator dan fasilitatornya, membantu masyarakat dalam mensiasati kondisi yang getir dan serba terbatas ini. Faktor-faktor tersebut, seperti paparan yang tinggi, sebaran mediasi, aksesibilitas produksi, serta implementasi dan penetrasinya baik dalam konteks yang ‘kultural’ maupun ‘kasual’, menunjukkan sebaran dan posisi citra yang serba-hadir (omnipresence) serta tak terhindarkan (inevitable) dalam peradaban saat ini. Citra, bagaimanapun, telah menjadi sesuatu yang ‘segera’.
Sifat dan posisi citra yang demikian, tentu menjadi sebuah fenomena kultural yang menyimpan potensi sekaligus memendam persoalan. Paparan terhadap citra ini juga mempengaruhi bahkan menggeser tidak hanya lanskap kebudayaan, melainkan juga sifat dari masyarakat mutakhir. Sifat ‘segera’ dari citra ini – patut disayangkan – adalah faktor kontributif yang cukup berperan dalam membangun ‘fetisisme’ masyarakat pada persoalan permukaan dan apati pada substansi. Apalagi didukung sistem ekonomi neoliberal yang menjadikan konsumsi sebagai daya dorong yang diutamakan, utilisasi citra sebagai pelumas dalam upaya persuasi konsumsi ini juga kian menumbuhkan hasrat konsumsi dan kian menekankan fetisisme yang berujung pada dekadensi masyarakat. Selain persoalan ini, produksi citra yang kian canggih ini juga berhasil ‘memperluas’ jika bukan mengaburkan realitas, ketika simulasi dimungkinkan dan manipulasi dipersilahkan. Membuat kian rumit, teknologi citraan ini pun lambat laun menginvasi ruang privat masyaakat, menjelman sebagai instrumen kekuasaan berupa panopitkon yang mengatur dan menjaga posisi masyarakat sebagai ‘tubuh yang patuh’.
Di sisi lain, produksi citraan sejatinya menawarkan potensi utilisasi sebagai perantara kritik, media ‘laporan sosial’ (social reporting), medium ekspresi personal, atau secara umum, sarana representasi gagasan. Bagi mereka yang memiliki sensibilitas yang lebih, seperti para seniman dan kreator, proses image making ini tetap menawarkan posibilitas yang hampir tanpa batas. Oleh para seniman, ciitra menjadi sebuah medium yang transformatif, elastis, dan akomodatif. Ia dapat dengan cukup tepat menyampaikan sesuatu atau secara sengaja menghadirkan kesalahan yang diniatkan (intentional fallacy). Sebagimana berhasil melayani agenda kekuasaan, melalui citra pula lah kekuasaan tersebut dikritik, melalui seniman sebagai corong dan pelakunya.
Korespondensi ulang-alik kebuayaan melalui citra ini adalah hal yang terus mewarnai dinamika kebudayaan kita. ‘Merayakannya’ saja tentu adalah hal yang kurang bertanggung jawab. Alih-alih demikian, persoalan ini perlu untuk diketengahkan, didiskusikan, dan dikaji. Pameran Immediacy of Image kemudian berupaya untuk mencoba meresopn melui cara tersebut. Dengan menghimpun beragam input, statement, dan gagsan dari para seniman dan kreator, pameran ini diharapkan dapat menjadi platform yang secara intensif membicarakan citra sebagai sebuah feomena kebudayaan, menghimpun potensi sekaligus menginevntarisir resiko yang terkandung di dalammnya. Pengguan situs jejaring (website) sebagai kanal mediasi pameran pun, diharapkan dapat kian mempertegas relevansi persoalan, membicarakan citra secara natif melalui tempat dimana ia berada.
Gumilar Ganjar